Hati-hati jajan sembarangan bisa kena HIV/AIDS

Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, Dr. Dominggus Sarambu mengatakan, 98 persen penularan HIV/AIDS di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) berasal dari hubungan seksual.

"Kalau di Jawa penularan lebih banyak melalui jarum suntik, namun di Kupang 98 persen melalui hubungan seksual," kata Dr. Sarambu di Kupang, Senin.

Jumlah kasus HIV/AIDS di Kupang sejak 2000-2009 terus mengalami peningkatan. Total jumlah kasus HIV/AIDS di Kupang pada 2009 mencapai 184 kasus, sedangkan pada 2008 sebanyak 52 kasus.

Guna meminimalisir meningkatnya kasus HIV/AIDS di Kota Kupang, katanya, Pemerintah Kota telah menyiapkan sarana pelayanan kesehatan untuk program Ifeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS.

Sarana yang disiapkan, yakni puskesmas rawat jalan sebanyak 10 buah, puskesmas rawat inap sebanyak dua buah, puskesmas pembantu (pustu) sebanyak 31 unit, Rumah Sakit (RS) sebanyak tiga unit dan satu unit rumah sakit swasta.

Selain itu, Pemkot Kupang juga menyedia sarana penunjang, yakni klinik VCT sebanyak tiga klinik, klinik IMS sebanyak tiga klinik serta klinik yang disiapkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebanyak dua buah, dari PKBI dan Yayasan Tanpa Batas (YTB).

"Lokasi konsentrasi untuk meminimalisir kasus HIV/AIDS, lanjutnya, yakni lokalisasi karang dempel (KD), pijat tradisional (Pitrad), karoeke dan hotel," katanya.

Kendala dalam meminimalisir penyebaran virus HIV/AIDS di Kupang, yakni kasus ini terus meningkat, penularan HIV/AIDS sangat cepat dengan wilayah penularan yang semakin luas.

Selain itu, masyarakat belum sepenuhnya mengetahui proses penularan dan HIV/AIDS dan akibatnya. "Penularan HIV/AIDS melalui seks bebas dan jarum suntik semakin meningkat," katanya.

Dia mengatakan, Pemkot telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan anggaran untuk mendukung pengurangan angka HIV/AIDS di Kupang.

Pada 2008 lalu, lanjutnya, Pemkot Kupang mengalokasikan anggaran sebesar Rp460 juta dan 2009 dialokasikan sebesar Rp400 juta bagi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD).

"Diharapkan dana tersebut bisa mengurangi angka penderita HIV/AIDS di Kupang," katanya(rlks)

Dibanding Pria Wanita Mudah Terkena Serangan Jantung

Mitos salah, jika penderita serangan jantung selalu identik diderita pria. Padahal, perempuan memiliki potensi lebih besar terkena serangan jantung ketimbang pria.

Kenyataan ini diungkapkan oleh dr.Joko Maryono SpJ, dari RS Medistra Jakarta, disela Seminar Tentang Jantung yang digagas Astra Zaneca di Jakarta, pekan lalu.

Berdasarkan perkembangan terkini perbandingan kasus serangan jantung antara pria dan wanita mencapai 1 : 1,5. Selang waktu tak lama, perbandingan akan meningkat menjadi 1:2.

"Ini bisa terjadi karena kesehatan perempuan tidak diperhatikan. Setidaknya ada beberapa faktor penyebab mengapa jumlah kasus serangan jantung pada perempuan meningkat drastis," jelas Joko.

Pertama, tingkat frekuensi pemeriksaan medis pada perempuan cenderung minim ketimbang pria. Kondisi ini begitu ironis sekalipun tingkat harapan hidup perempuan begitu tinggi.

Faktor kedua adalah masalah aktivitas. Perempuan tidak memiliki aktivitas yang padat layaknya pria. Sebab itu, rasa nyeri di dada kerap diabaikan.

"Perempuan itukan minim aktivitas. Kasus yang sering terjadi adalah mereka tidak pernah mengeluh sekalipun sakit. Mereka menganggap hal itu biasa, mereka tidak melakukan hal yang berat menurut mereka rasa sakit bukanlah hal yang serius," jelas Joko lebih lanjut.

Faktor lainnya yang turut berperan adalah asupan gula dan lemak tinggi. Faktor asupan memang tidak begitu dominan, lantaran perempuan begitu menjaga pola makan mereka. Justru, pada faktor ini, pria jauh lebih parah.

Selain ketiga faktor tadi, faktor kurangnya kesadaran perempuan terhadap gejala penyakit kardiovaskular menjadi masalah utama. Perempuan tidak mendapatkan pertolongan yang tepat waktu lantaran pihak pasien dan dokternya terlambat mengambil kesimpulan terhadap gejala penyakit jantung.

Data Badan Epidemiologi Nasional di AS, seperti yang dikutip dari Yayasan Jantung Indonesia, mencatat, proporsi wanita yang mengalami kematian diluar rumah sakit lebih tinggi daripada pria. Hampir 52% perempuan mengalami serangan jantung diluar rumah sakit, dibandingkan hanya 42% pada pria. Hal ini terjadi karena gejala penyakit jantung pada perempuan sulit dikenali.

Sementara dalam seminar yang sama, Ahli Penyakit dalam, Fakultas Kedokteran UI dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, dr.Yoga Yuniadi Spj, dalam makalahnya menyebutkan, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukan, perempuan cenderung sering mengeluh nyeri pada rahang atau leher dan nyeri bahu, mual, muntah, lemas atau kembung sebagai gejala penyakit jantung dibandingkan pria.

"90% perempuan yang disurvei pada tahun 1997 tidak menyadari akan gejala yang tidak khas itu. Dilain pihak, pria lebih sering mengalami gejala nyeri dada tipikal yang menjalar sehingga mereka dan tenaga medis segera mengenali sebagai serangan jantung," jelas Yoga

Sebab itu, Yogi menyarankan agar informasi terkait penyakit kardiovaskular harus dikomunikasikan secara intensif. Tidak hanya pada pasien saja tapi juga para dokter. Dengan cara itu, jumlah kasus perempuan yang terkena serangan jantung bisa diminimalisir.(inlhcom)

Menahan Marah di Tempat Kerja Bisa Membunuh

Orang yang menekan kemarahan mereka saat diperlakukan secara tidak adil di tempat kerja, memiliki kemungkinan lima kali lipat mengalami serangan jantung atau bahkan menemui ajal, dibandingkan dengan orang yang memperlihatkan kekecewaan mereka.

Satu studi oleh para ilmuwan Lembaga Penelitian Stress di Stockholm University, Swedia, terhadap 2.755 pria yang bekerja dan tak pernah mengalami serangan jantung dari 1992 sampai 2003.

Pada akhir studi itu, 47 peserta mengalami serangan jantung, atau meninggal akibat sakit jantung, dan banyak peserta telah didapati 'secara diam-diam menghadapi' perlakuan tak adil di tempat kerja.

"Setelah penyesuaian faktor usia, dan ekonomi, perilaku berisiko, ketegangan dalam pekerjaan dan faktor risiko biologi sebagai dasar, ada hubungan reaksi erat antara secara menahan marah dan risiko kasus serangan jantung atau kematian akibat jantung secara tiba-tiba berhenti berdenyut," kara para penulis studi tersebut.

Menghadapi keadaan secara diam-diam didaftar sebagai "membiarkan sesuatu berlalu tanpa mengatakan apa-apa" dan "pergi" kendati ada perasaan merasa sangat dibebani oleh rekan atau bos.

"Pria yang seringkali menggunakan teknik menahan diri itu memiliki 2-5 kali lipat risiko terserang sakit jantung dibandingkan dengan mereka yang bersifat lebih frontal di tempat kerja," kata studi itu.

Para peneliti itu mengatakan mereka tak dapat menjawab pertanyaan mengenai apa strategi penahan diri yang sehat di tempat kerja, tapi mendaftarkan perilaku penahan diri terbuka ketika mengalami perlakuan tak adil atau menghadapi konflik sebagai 'protes langsung, berbicara langsung kepada seseorang, berteriak langsung ke orang yang bersangkutan' atau 'berbicara dengan orang itu belakangan ketika keadaan telah tenang'.

Studi itu disiarkan di dalam Journal of Epidemiology and Community Health. [*/lia/inlh)